BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Nasib
warga Indonesia di perbatasan seolah mengalami keterbelahan identitas, terjebak
di antara dua pilihan dan kecintaan negara. Di pedalaman Kalimantan yang
berbatasan dengan Malaysia, pedalaman Papua dan NTT, beberapa warga negeri ini
hidup dalam berbagai ketertinggalan, seperti:
akses informasi, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur. Ini fakta di antara
gemerlapnya nuansa pendidikan di kota-kota besar dengan sistem kompetitif dan
infrastruktur standar internasional.
Daerah 3T adalah daerah-daerah yang berbatasan langsung
dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia. Untuk daerah-daerah ini,
masalah yang muncul seperti letak geografis dan minimnya sarana serta
prasarana. Persoalan-persoalan ini menjadi hambatan dalam mewujudkan pendidikan
yang berkualitas. “Wajah” pendidikan
perbatasan sangat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di kota-kota
besar, dan negara tetangga yang lokasinya memang tak begitu jauh dan sangat
terlihat jelas, salah satunya yang terjadi di daerah Nunukan.
Daerah perbatasan
seperti Nunukan dalam hal pendidikan saat ini memang cukup memprihatinkan,
masih banyak kekurangan-kekurangan sarana atau fasilitas yang dibutuhkan. Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan
di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan
mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan
bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia
khususnya didaerah perbatasan.
Masyarakat di daerah Nunukan minim mendapatkan perkembangan
ilmu. Barang bacaan sedikit. Menonton televisi pun tak bisa lama karena listrik
dari panel surya dan genset listrik kecamatan terbatas. Dari gambaran seperti
ini bisa dilihat salah satu penghambat berkembangnya pendidikan di daerah
tersebut.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka
yang menjadi permasalahannya adalah :
1.
Bagaimana potret
pendidikan di daerah perbatasan Kalimantan Timur ?
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya
mutu pendidikan di Kalimantan Timur khususnya
daerah perbatasan.
2.
Mendeskripsikan
tindakan Pemerintah dalam menangani masalah pendidikan di perbatasan Kalimantan
Timur.
BAB III
KONSEP TEORI
Adanya jarak ruang dan waktu antara pusat pemerintahan dan
perbatasan, terutama dalam pemerataan pendidikan dan pembangunan menjadikan
warga negara kehilangan identitas serta kecintaannya pada negara. Michael
Saltman dalam Land and Territoriality (2002), mengungkapkan,
keterbelahan identitas warga yang bimbang mengenai rumah nasionalisme. Hampir
senada, Rapport dan Dawson dalam Migrants of identity: perception of home in
a world of movement (1998: 4-5) menyatakan bahwa identitas manusia di
perbatasan bergerak dalam konteks mengenali ruang.
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu. Bahkan warga negara yang memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus. Demikian pula warga negara di daerah perbatasan atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak
memperoleh pendidikan layanan khusus.
Kondisi sekolah diperbatasan itu memang memperihatinkan,
seperti yang di tulis oleh M.Syaifullah/ Ambrosius Harto Manumoyoso/ Wahyu Haryo P/Kompas/14 Des2009)
misalnya: Jumriadi, guru SMP 003, Kecamatan Krayan Selatan, Kabupaten
Nunukan, Kalimantan Timur, misalnya, pertengahan November, terpaksa mengajar
dua kelas karena satu rekannya sudah sebulan pulang kampung. Proses belajar 50
siswa di sekolah itu bisa berjalan karena dibantu seorang guru SD, yang juga
istri pendeta setempat. Kondisi lebih berat dialami Gat Khaleb, guru SMP 001
Krayan Selatan di Desa Paupan. Dia mengajar 75 siswa kelas I, II, dan III
sekaligus untuk semua pelajaran. ”Tujuh rekan saya pulang kampung lebih dari
dua minggu,” katanya. Bagi orang awam, guru-guru yang meninggalkan tugasnya
begitu lama semestinya mendapat teguran keras. Tetapi, di Kecamatan yang berada
di perbatasan Kaltim, hal itu sudah biasa.
Sebab, daerah itu terisolasi. Akses ke sana hanya dengan
pesawat perintis dari Nunukan, Tarakan, atau Malinau.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Kondisi dan masalah pendidikan di
wilayah perbatasan Kalimantan Timur
Ironis.
Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi pendidikan kita di daerah
perbatasan, khususnya di perbatasan Kalimantan Timur. Betapa
tidak, ketimpangan kualitas pendidikan di kota dengan di daerah sudah terjadi
sedemikian rupa sehingga cerita tentang sekolah rubuh di daerah perbatasan atau
cerita tentang guru yang lari ke negara tetangga, bukan sekedar mitos belaka.
Selanjutnya, untuk memperoleh pemahaman secara lebih mendalam, permasalahan ini
dapat kita tinjau dari sudut pandang hak dan kewajiban warga negara.
Melihat kondisi
pendidikan di Kalimantan Timur saat ini, sulit
untuk membuat gambaran umum untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya. Jika
sekilas kita melihat pada sekolah-sekolah unggulan yang ada di kota, mungkin
kita bisa berbangga dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Sekolah-sekolah
tersebut sudah sangat mapan dalam hal fasilitas dan kualitas. Para murid dan
guru dari sekolah-sekolah elit selalu dimanja dengan fasilitas pendidikan yang
lengkap dan mutakhir. Segala proses pembelajaran dijalankan dengan nyaman dan
mudah sehingga dapat menghasilkan murid yang berkualitas. Namun, ketika kita
melihat kondisi pendidikan di daerah perbatasan, keadaan tersebut
sungguh berbanding terbalik.
Tak banyak yang mengetahui atau peduli dengan nasib
pendidikan anak-anak di daerah perbatasan. Banyak anak di perbatasan yang
bernasib malang karena tak dapat memperoleh pendidikan yang bermutu. Di
beberapa perkampungan atau dusun di perbatasan Kalimantan Timur misalnya,
anak-anak harus berjalan kaki 1-2 jam sejauh hingga 6 Km melintasi hutan dan
menuruni bukit untuk ke sekolah setiap harinya.
Meningkatkan kualitas pendidikan di perbatasan Kalimantan Timur merupakan langkah penting untuk mengokohkan sistem
pertahanan nasional di wilayah tersebut melalui
pendidikan dan budaya. Peningkatan akses pendidikan di perbatasan akan
menghapus stigma kesenjangan politik nasional mengenai peningkatan sumber daya
dan infrastruktur; juga menjadikan warga di daerah perbatasan merasa menjadi
bagian dari negara Indonesia. Berdasarkan informasi, ada 400 guru di Kabupaten Nunukan
yang yang bertugas di perbatasan. Sementara dari pusat ke provinsi hanya
memberikan tunjangan khusus kepada delapan guru dan hanya dua orang yang
menerima tunjangan tersebut.
Para guru tersebut tidak dapat tunjangan
khusus guru perbatasan dengan alasan mereka mengajar tidak sampai 48 jam dalam
sepekan. Akibat
kesenjangan ini, guru-guru di perbatasan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup
layaknya guru-guru lain yang mendapat tunjungan khusus. Didaerah ini banyak ditemukan guru yang mengomsumsi mi instan dan kangkung sebagai lauk.
Persoalan-persoalan yang mengemuka di dunia pendidikan daerah
perbatasan diakibatkan karena pemerintah pusat tidak memperhatikan
karakterisitik daerah dalam memberikan bantuan.
Berikut
ini akan dipaparkan beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas
pendidikan di daerah perbatasan :
Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah yang
gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku
perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian
teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah
yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki
laboratorium dan sebagainya.
Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan
pengabdian masyarakat.
Bukan
itu saja, sebagian guru di daerah perbatasan bahkan dinyatakan tidak layak
mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan
guru itu sendiri. Bagi daerah perbatasan jika pendidikan guru dijadikan sebagai
kalayakan mengajar, maka akan menambah banyaknya sekolah yang tidak mempunyai
guru, karena tidak adanya SDM yang tersedia.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan
kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat
besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru
dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan
guru.
Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat
rendahnya kualitas pendidikan didaerah perbatasan.
Dengan pendapatan yang rendah banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari,
menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS. Dengan
adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak
lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam
pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan
memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji,
tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang
berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga
berhak atas rumah dinas.
Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat
Sekolah Dasar. Hal ini disebabkan karena hanya tingkat pendidikan itu saja
yang tersedia. Selain itu sosial budaya masyarakat juga cukup berperan.
Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan
pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber
daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan
strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
B.
Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Daerah
Perbatasan
Untuk mengatasi masalah-masalah pendidikan di daerah perbatasan, ada
beberapa solusi antara lain :
1.
Komitmen bersama
anatara pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-masa
meningkatkan mutu pendidikan di daerah perbatasan yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bagi pemerintah terus berkomitmen untuk
membangun daerah perbatasan sehingga tidak ketinggalan dengan Negara tetangga
yang akan menumbuhkan nasionalisme bagi daerah perbatasan.
2.
Bagi masyarakat
terus mendukung upaya yang dilakukan pemerintah, sehingga akan menjadi kekuatan
yang padu antara pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi permasalahan yang
ada.
3.
Perubahan paradigma
dan pola pikir masyarakat. Paradigma dan pola pikir tradisional merupakan
hambatan dam memajukan pendidikan. Apalagi saat ini kita dihadapkan pada era
globalisasi dan informasi.
4.
Peningkatan sarana
fisik, kesejahteraan guru, kualitas guru, pemerataan akses pendidikan.
Masalah-masalah tersebut dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan
membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan
memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru.
C.
Usaha Pemerintah untuk memperbaiki
masalah pendidikan di Indonesia khususnya daerah perbatasan.
Berikut beberapa usaha Pemerintah dalam memperbaiki masalah
pendidikan di Indonesia:
1. Membuka klinik pendidikan.
Mendengar kalimat klinik pendidikan mungkin aneh, tetapi
suatu saat jika terwujud akan menjadi hal yang biasa. Kata klinik memang sering
digunakan dalam dunia kesehatan. Jika kita mendengar kata tersebut dalam benak
kita membayangkan orang sakit yang lagi antri menunggu panggilan untuk
diperiksa oleh dokter. Dengan munculnya gagasan klinik pendidikan tersebut
kemudian muncul suatu pertanyaan apakah sekarang ini banyak orang/lembaga yang
menghadapi masalah berkaitan dengan pendidikan? Mengapa klinik pendidikan
diperlukan? Mungkinkan klinik pendidikan terwujud? Siapa yang akan mengelola
dan menggunakan jasa klinik pendidikan? dan siapa yang membiayai operasional
klinik pendidikan?
Kehadiran
klinik pendidikan sekarang sangat diperlukan. Kita harus melihat realita
masyarakat dan lembaga pendidikan di Kaltim bahwa banyak anak-anak yang
kesulitan dalam belajarnya, banyak orang tua yang kebingungan untuk memilih
atau menentukan sekolah yang sesuai dengan kemampuan dan bakat anaknya, banyak
sekolah yang kesulitan mengembangkan sekolahnya menjadi sekolah yang baik, Disdik
masih kesulitan membuat inovasi dan program pendidikan, pemerintah maupun DPRD
masih memerlukan saran-saran untuk memajukan pendidikan dan masih banyak lagi
persoalan-persoalan dalam dunia pendidikan yang tidak tertangani secara baik.
Klinik pendidikan kehadirannya dibutuhkan sebagai tempat
konsultasi bagi anak, orang tua, sekolah, DPRD, Disdik, pemerintah yang
berkaitan dengan pendidikan. Oleh karena itu, orang orang yang duduk dalam
klinik pendidikan adalah orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya antara
lain Psikolog, ahli menejemen pendidikan, dan ahli bidang studi (spesialis).
Diharapkan mereka dapat membantu masyarakat, DPRD, Pemerintah
daerah, maupun sekolah yang menghadapi masalah pendidikan.
Sebaiknya untuk tahap awal atau permulaan klinik pendidikan
dapat dibuka pada setiap Disdik
kota/kabupaten. Selanjutnya untuk tahun tahun berikutnya jika dirasakan
bermanfaat dalam memajukan pendidikan dapat dibuka di setiap kecamatan. Dengan
demikian, diharapkan masyarakat dapat terlayani dengan baik berkaitan dengan
masalah pendidikan.
Mendirikan suatu satuan/lembaga/unit tentu memerlukan dana
untuk sarana dan operasionalnya. Agar dana operasional dari klinik pendidikan
ini tidak membengkak (besar) pengelola dan penangung jawab klinik pendidikan
adalah disdik kota/kabupaten yang pengurus/orangnya diambil dari PNS (guru,
kepsek, pengawas, dan staf yang bekompetensi sesuai dengan bidangnya).
Kemudian, bagaimana agar kinerja klinik pendidikan berjalan secara efektif dan
dan efesien? Untuk meningkatkan kinerja dan memotivasi orang orang yang
dikerjakan dalam klinik pendidikan maka mereka perlu mendapat tambahan
tunjangan dari pemerintah daerah sesuai dengan kedudukannya dalam klinik
tersebut. Sedangkan, dana operasional berasal dari APBD kota/kabupaten.
2.
Melakukan evaluasi
kinerja birokrat pendidikan (kepala disdik, kabag, kasubag, kasubdin, kasi)
pengawas, kepala sekolah, guru, secara jujur dan bertanggung jawab.
Evaluasi kinerja dilakukan untuk mengetahui seberapa baik
kinerja seseorang atau lembaga yang di evaluasi. Selama ini, evaluasi kinerja
dalam bidang pendidikan lebih sering dilakukan kepada kepala sekolah dan guru,
masih jarang evaluasi kinerja dikenakan kepada para birokrat pendidikan dan
pengawas. Ketimpangan evaluasi kinerja ini, jika terus berjalan tentunya akan
berdampak yang kurang baik terhadap dunia pendidikan itu sendiri. Hal semacam
ini (evaluasi kinerja yang tidak menyeluruh) akan mendatangkan
pertanyaan-pertanyaan orang yang dievaluasi maupun pihak lain. Bagaimana
seorang evaluator dapat mengevaluasi dengan baik jika kinerjanya sendiri tidak
pernah dievaluasi atau di bawah dari orang yang dievaluasi? Tentunya ini
menjadi permasalahan baru. Oleh karena itu, evaluasi kinerja harus dilakukan
kepada seluruh pelaku pendidikan (birokrat pendidikan dan fungsional) dengan
kreteria yang telah ditentukan sehingga kita akan mengetahui letak kekurangan.
Dengan demikian, kita dapat memperbaiki dengan cermat dan tepat
3.
Meningkatkan
kualifikasi guru minimal S1 atau Diploma IV
Guru merupakan tenaga profesional di bidang pembelajaran.
Artinya bahwa pekerjaan guru harus memiliki kualifikasi akademik dan penguasaan
kompetensi yang sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan. Kualifikasi
akademik yang disyaratkan untuk menjadi guru Usia dini/ TK/SD/SLTP/SLTA sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomer 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP) pada bab VI pasal 29 tentang standar pendidikan dan tenaga
pendidikan, kualifikasi akademik pendidikan guru minimum berijazah Sarjana (S1)
atau Diploma empat (D-IV).
Realitasnya sekarang, di Kaltim masih banyak guru yang belum
memiliki kualifikasi akademik S1 terutama untuk tingkat usia dini, TK, dan
SD/MI. Mereka kebanyakan memiliki ijazah SPG dan Diploma II. Oleh karena itu,
hal ini perlu mendapat perhatian serius dari pemkot/pemkab jika pendidikan di
daerahnya tidak ingin tertinggal dari daerah lain. Hal yang harus dilakukan
adalah mengalokasikan dana dalam APBD untuk beasiswa bagi guru yang belum
sarjana ( S1).
4.
Meningkatkan
profesionalisme guru melalui kegiatan MGMP dan callaborative action research
(CAR).
Guru adalah jabatan profesional dengan visi, misi, dan
aksinya mereka menjadi pemeran utama dalam mengembang sumber daya manusia.
Berdasarkan hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa mutu guru secara
konsisten menjadi salah satu faktor terpenting dari mutu pendidikan. Dalam
penelitian itu, guru yang bermutu mampu membelajarkan murid secara efektif
sesuai dengan kendala sumber daya dan lingkungan.
Mengingat
guru memimiliki peran strategis dalam meningkatkan kualitas pendidikan, dan
melihat kualitas guru yang ada saat ini maka peningkatan profesionalisme guru
sangat diperlukan. Untuk meningkatkan profesionalisme guru hendaknya dilakukan
dengan terencana, terprogram, dan berkesinambungan melalui berbagai kegiatan
seperti pelatihan, seminar, work shop, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP),
callaborative action research (CAR), dll.
Selama ini MGMP di beberapa daerah tidak berjalan sebagai
mana mestinya, hal ini disebabkan tidak adanya dana untuk melaksanakan. Pada
masa lalu pertemuan di sanggar MGMP dibiayai oleh pemerintah, bahkan para
peserta mendapatkan uang transpor, tetapi sekarang kegiatan MGMP merupakan
kegiatan swadana peserta sehingga para peserta malas datang ke sanggar untuk
mengikuti kegiatan MGMP. Akibatnya para guru ketinggalan informasi berkaitan
dengan kurikulum, strategi pembelajaran, dan informasi lain yang berkaitan
dengan profesinya sehingga mereka tidak dapat melaksanakan tugas sebagaimana
tuntutan kurikulum.
Di samping itu guru agar professional dalam bidangnya juga
perlu melakukan callaborative action research (CAR). Model CAR sebagai
alternatif penataran guru memiliki ligitimasi yang kuat, baik dilihat aspek
akademik maupun setting kultur sekolah. Model CAR dapat digunakan untuk
meningkatkan profesionalisme guru dengan bermakna. Dalam model ini guru diajak
melihat berbagai problem pembelajaran yang dijumpai di kelasnya, sehingga guru
dapat memecahkan masalahnya itu bersama kalaboratornya.
5.
Menerapkan
menejemen berbasis sekolah (MBS) dan menejemen mutu terpadu (MMT) di sekolah,
Untuk mencapai visi dan misi sekolah yang telah ditetapkan,
sekolah harus menerapkan kedua menejemen tersebut secara konsisten. perpaduan
dua model ini diharapkan dapat memajukan sekolah dan meningkatkan mutu
pendidikan. dalam mbs sekolah memiliki kewenangan untuk merencanakan,
melaksanakan, memonitoring, dan mengevaluasi program dengan melibatkan warga
sekolah demi meningkatkan kualitas dan kemajuan sekolah. Langkah- langkah yang
harus dilakukan kepala sekolah agar MBS berjalan dengan baik antara lain:
menumbuhkan komitmen bersama untuk mandiri dalam lingkungan sekolah,
menumbuhkan harapan prestasi yang lebih tinggi, kemauan untuk berubah, sikap
responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan, mengembangkan komunikasi yang
baik antar warga sekolah, mewujudkan tim kerja yang kompak,
melakukan transparansi menejemen, melaksanakan pengelolaan tenaga pendidikan
secara efektif, meningkatkan pertisipasi warga sekolah dan masyarakat,
menetapkan akuntabilitas yang kuat
Sedangkan, dalam menejemen mutu terpadu (MMT) mengutamakan
kepuasan pelanggan (customer satisfaction) artinya sekolah sebagai pelayan jasa
harus memberikan kepuasan pada pelanggannya yaitu siswa, orang tua, masyarakat,
pemerintahan, maupun pihak-pihak lain yang pada akhirnya ikut menikmati hasil
pendidikan sekolah. Hal–hal yang dilakukan antara lain siswa diperlakukan
sebagai pelanggan, keluhan siswa ditangani secara cepat dan efisien, terdapat
sistem saran aktif dari siswa, sekolah berusaha membuat pelanggan puas sesuai
kebutuhan, terdapat rencana tindak-lanjut menelusuri lulusan, siswa
diperlakukan dengan sopan, rasa hormat, akrab, penuh pertimbangan, sistem
informasi memberikan laporan yang berguna untuk membantu manajemen,
karyawan,guru dan siswa. Jadi sekolah yaitu kepala sekolah, guru, dan staf
administrasi bertanggung jawab dan siap memberikan pelayanan dengan cara yang
mudah dan cepat guna memenuhi kebutuhan siswa, dan masyarakat.
6.
Pengadaan tenaga
administrasi di Sekolah Dasar(SD)
Tenaga
administrasi (TU) dalam lembaga pendidikan sangat penting. Tenaga administrasi
ini sangat mendukung dan mempelancar suatu sekolah mencapai tujuannya. Walaupun
keberadaan tenaga administrasi di sekolah sangat penting, tetapi realitas
menunjukkan bahwa Sekolah Dasar (SD) di Kaltim hanya sebagian kecil yang
memiliki tenaga administrasi/tata usaha. Kalaupun ada tenaga tata usaha
merupakan tenaga honorer yang dibayar oleh masing-masing sekolah, bukan PTT
atau PNS yang diangkat oleh Pemkot/pemkab, sehingga sekolah harus mencari
sumber dana untuk menggaji tenaga administrasi tersebut.
Tidak adanya tata usaha di SD ini sangat dikeluhkan oleh
sebagian besar kepala sekolah. Jika kepala sekolah melakukan pengadaan tata
usaha di sekolahnya maka mereka harus mengeluarkan dana untuk membayar tenaga
honorer, tetapi jika tidak melakukan pengadaan tenaga administrasi mereka
(kepala sekolah) harus merangkap pekerjaan menjadi TU. Oleh karena itu,
pemkot/pemkab perlu segera melakukan pengadaan tenaga administrasi di SD
minimal 1 orang setiap sekolah. Cara lain yang dapat ditempuh pemkot antara
lain mengangkat tenaga honorer atau memutasi sebagian tenaga administrasi (TU)
yang berada di SMP/SMA/SMK yang kelebihan.
7.
Meningkatkan peran
LSM pendidikan, dewan pendidikan, komite sekolah, dan masyarakat.
LSM pendidikan (PGRI, FSGK, PGS, Komite reformasi dll) ,
dewan pendidikan, komite sekolah, dan masyarakat memiliki peran yang strategis
dalam memajukan dunia pendidikan. Sebagai wadah menyalurkan aspirasi lembaga
ini sangat efektif sebagai pengontrol, pemberi pertimbangan, pendukung, dan
mediator. Usaha dan tindakan yang dilakukan tentunya disesuaikan dengan
karakteristik dari masing masing LSM. Yang masih menjadi persoalan adalah
apakah lembaga tersebut telah melakukan peran dan fungsinya dengan baik? Atau
hanya mengekor terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
(Pemprop/pemkot/pemkab, disdik, sekolah)? Kedua pertanyaan ini selalu mengemuka
untuk mendapatkan jawaban. Harus diakui LSM/Lembaga ini memang sudah berperan,
namun peran yang dilakukan belum optimal. Oleh karena itu, pengurus dari
LSM/lembaga tersebut harus lebih pro aktif dalam mengontrol dan memberikan
pertimbangan berkaitan dengan kebijakan pendidikan sehingga kebijakan akan
memihak pada rakyat. Dengan demikian, pendidikan diharapkan akan lebih baik dan
berkualitas.
Pemerintah
provinsi juga segera mengeluarkan regulasi
berupa peraturan daerah terkait pendidikan didaerah perbatasan untuk membantu orang tua murid yang kurang mampu. Misalnya,
Perda tentang masa penggunaan sebuah buku pelajaran
minimal lima tahun sehingga buku pelajaran itu bisa digunakan lagi tahun
berikutnya oleh siswa lain.
Presiden memaparkan beberapa langkah
yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia khususnya daerah perbatasan, antara lain yaitu:
- Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses
terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di daerah
terpencil dan daerah perbatasan. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
-
Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan,
seperti ketidakmerataan di daerah perbatasan dan kota, serta perbedaan jender.
- Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan
kualifikasi guru, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian
nasional.
-
Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti
menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah perbatasan
Kalimantan Timur.
-
Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk
tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
- Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi
pendidikan.
- Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin dan didaerah
perbatasan untuk
bisa menikmati fasilitas penddikan.
D.
Anggaran dana alokasi yang dikeluarkan
Pemerintah untuk daerah perbatasan
DPRD Kalimantan Timur meminta agar
alokasi anggaran pendidikan 20 persen itu juga disisihkan untuk pembelian buku
kemudian dibagikan kepada murid SD hingga siswa SMA di wilayah perbatasan,
terpencil dan bagi orang tua yang dianggap kurang mampu. Anggaran
pembelian buku tersebut dialokasikan dari anggaran pendidikan Provinsi Kaltim. Jadi
dana tersebut bukan dari anggaran Dinas Pendidikan tetapi anggaran pendidikan
Provinsi Kaltim yang dialokasikan untuk pembelian buku pelajaran di terpencil,
warga di perbatasan atau orang tua yang dinilai kurang mampu.
Anggaran pendidikan sebesar 20 persen itu tidak semuanya
berada di SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Dinas Pendidikan sebab ada yang
berbentuk aggaran pendidikan melalui bantuan keuangan pendidikan kabupaten/kota
sehingga anggaran pembelian buku itu bisa dimasukkan ke mata anggaran bantuan keuangan
peningkatan SDM atau bantuan keuangan pendidikan yang langsung dalam bentuk
hibah ke kabupaten/kota. Rencana pembagian buku pelajaran secara gratis sejalan
dengan kebijakan pemerintah pusat yang telah
membeli hak cipta berbagai buku pelajaran tersebut.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim tersebut tidak
merinci besaran alokasi anggaran pembelian buku pelajaran yang akan dibagikan
kepada siswa di daerah terpencil, perbatasan serta orang tua yang kurang mampu
tersebut.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kualitas pendidikan di daerah perbatasan Kalimantan Timur memang masih sangat
rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di daerah perkotaan. Hal-hal yang menjadi penyebab yaitu:
1. Rendahnya sarana fisik,
2. Rendahnya kualitas guru,
3. Rendahnya kesejahteraan guru,
4. Rendahnya kesempatan
pemerataan pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas
antara lain: Komitmen bersama anatara pemerintah dengan seluruh lapisan
masyarakat untuk bersama-masa meningkatkan mutu pendidikan di daerah
perbatasan, Perubahan paradigma dan pola pikir masyarakat, Peningkatan sarana
fisik, kesejahteraan guru, kualitas guru, pemerataan akses pendidikan.
B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut
perubahan sistem dan Inovasi pendidikan nasional
yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah
satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan
dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya
terlebih dahulu khususnya di daerah perbatasan serta meyakinkan masyarakat perbatasan
bahwa mereka adalah tetap bagian dari Indonesia.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan
berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan
mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia
internasional.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.jurnas.com/halaman/10/2012-01-09/194883